1.3.12

Bisu

Sepertinya aku mulai lupa bagaimana harus menyapamu.

Ketika kita hanya bertemu di atas detik-detik. Berbicara hanya beberapa potong kata. Menangkap hanya seikat desah-nafas. Bahkan kita tak lagi pernah menyaksikan hujan sampai selesai. Bagimu ini baik-baik saja. Tapi bagiku ini malapetaka. Karena setelah itu aku tak punya apa-apa. Hanya tersisa dua jendela yang mengizinkan aku mengintip malam. Hanya dinding kamar yang mulai enggan bicara. Tidak lebih. Tidak kurang. Dua jendela yang tak pernah seutuhnya membuka dan dinding kamar yang kusam dan bosan adalah yang tersisa untukku.

Sepertinya aku mulai terbiasa dengan kecewa.

Jalan yang aku tempuh, yang telah aku tinggalkan dibelakang, ternyata begitu panjang. Banyak hal aku buang, aku biarkan dan aku tinggalkan. Tidak sedikit bekal nafas yang aku pinjam. Semuanya demi ada di sampingmu. Tapi lagi-lagi, kau harus sudah pergi sebelum aku benar-benar bersandar di pundakmu. Kau hilang sebelum aku utuh menjadi puisi di lembar hatimu. Itu membuatku putus seperti layang-layang, terbang tak karuan, pulang tanpa benang, kemudian jatuh dan tersangkut—pada ranting malam. 


Sepertinya aku mulai kehilangan kata-kata.

Merayumu tak lagi haru. Memelukmu hanya membuatku pilu. Karena kau hanya butuh gelap, kemudian lelap. Sedang aku selalu tenggelam di kedalaman malam tanpa mampu terpejam.

Dengan kecewa dan tanpa kata-kata, mungkin aku akan tetap menyapamu: dalam bisu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar