Apa
yang paling menarik dari hidup? Adalah dia yang dilukis di atas kanvas misteri,
dengan warna yang dapat berubah kapan saja serta corak yang penuh beda, serta garis-gurat
yang berulang dan kemudian bertemu dalam sebuah titik.
Do’a—
adalah salah satu warnanya, sebagai sebuah garis yang sering kita ulang, gurat
yang tak pernah lelah menebalkan keinginan kita dan menjelma sebuah titik keajaiban ketika garis do’a bersinggungan dengan gurat kenyataan.
Rumus
remehnya menjadi seperti ini: doa + kenyataan = sebuah keajaiban!!
Pertama
kali saya merasakan keajaiban itu adalah saat masih kecil, saya lupa tepatnya
umur saya, tapi masih di bawah kelas 5 SD saat itu. Saya punya keinginan untuk
membeli sebuah mainan yang sedang di gemari oleh banyak teman sepermainan saya.
Tapi apa mau di kata, orang tua saya tidak memberi uang untuk membeli mainan
itu. Sampai beberapa bulan berlanjut, bahkan hingga akhirnya mainan itu sudah
tidak populer lagi, sudah tidak ada di jual di pasaran lagi, sudah tidak ada
teman-teman saya yang bermain dengan mainan tersebut, saya benar-benar tidak
pernah memilikinya.
Tentu
saja saya bersyukur, karena akhirnya musim jenis mainan itu sudah berakhir.
Tapi ibarat keluar dari musim kemarau dan masuk musim banjir, tidak ada yang
enak dalam jiwa kecil saya. Karena ternyata, setelah berakhirnya musim mainan
tersebut, muncul lagi jenis mainan baru. Begitulah seterusnya hal itu
berlanjut. Musim mainan silih berganti. Tapi saya tetap tidak punya kesempatan
untuk memilikinya.
Meski
saya tahu bahwa orang tua saya tidak pernah berhasil membelikan mainan pada
saya karena memang mereka tidak punya cukup uang, tetap saja jiwa kecil saya
marah. Tidak terima. Berontak. Melawan. Puncaknya: saya berlari menuju hutan
kecil di belakang rumah saya sambil menangis di sebuah pagi pada hari minggu.
Pada hari libur sekolah tersebut lah, teman-teman saya punya begitu banyak
waktu untuk memamerkan berbagai jenis mainan yang sedang berada pada puncak
popularitasnya.
Saya
menangis. Meratapi nasib. Dan berdo’a.
Ini
adalah do’a pertama dalam hidup saya yang tercatat sebagai do’a yang ‘benar-benar do’a’. Maksud saya tidak
seperti do’a mau makan yang hanya terucap dengan nyaring karena sudah tidak
sabar melahap makanan yang ada, atau do’a mau tidur yang selalu lirih saya
lafalkan dalam kantuk yang sudah menjadi-jadi. Ya, sebelumnya saya memang sudah
mengenal banyak do’a. Sudah banyak do’a yang saya hafal. Tapi do’a dalam tangis
di minggu pagi, di hutan kecil di belakang rumah saya, dalam duduk dan
tersandar pada sebatang pohon yang telah lapuk, adalah do’a perdana saya yang
garisnya saya tarik dari lubuk hati terdalam saya. Meski tidak ada suara yang
tercipta, tapi bagi saya nyaringnya melebihi do’a mau makan saya dan kesungguhannya
jauh lebih lirih dari do’a mengantuk saya—karena hati saya yang bicara.
Do’a
yang saya sampaikan sangat sederhana, khas do’a anak kecil, polos, namun penuh
kejujuran. Bunyinya kurang lebih seperti ini: Ya Allah, berilah saya uang
dua-ribu-lima-ratus saja.
Pagi
di hari minggu itu, setelah membungkus do’a dalam tangis, saya memutuskan untuk
tidak bermain dengan teman-teman. Saya lebih memilih untuk ikut salah satu
kakak saya pergi ke kebun karet. Sesampainya di kebun, kakak saya sibuk menyadap
dan saya sibuk bermain. Permainan saya: berlari ke sana ke mari. Menganggap
semua pohon-pohon karet adalah para monster. Sedang saya, adalah satu-satunya power ranger yang tersisa. Begitulah
imajinasi saya saat itu.
Hingga
akhirnya, tanpa sengaja saya menemukan sebuah lobang yang sangat besar dan
dalam. Lobang itu ukurannya seperti sebuah galon air minum berukuran 19 liter.
Kedalamannya kurang lebih 2 meter. Tapi karena berada di bawah rindang
pohon-pohon karet, dasar dari lobang itu terlihat sangat gelap.
Karena
penasaran, saya memeriksa lobang itu dengan cara memasukkan sebuah ranting
hingga ke dasar dari lobang tersebut. Saat itulah saya terperanjat!! Dari dalam
lobang itu, keluar sebuah suara yang berat dan mendesis. Sekelebat kemudian,
saya melihat sebuah pergerakan hewan yang badannya cukup besar dan bersisik.
Karena kaget sekaligus bercampur takut, saya langsung lari tunggang-langgang
sambil berteriak-teriak memanggil kakak saya.
Saya
hanya bilang pada kakak saya bahwa ada ular yang sangat besar di dalam lobang
tersebut. Karena tidak ada lagi hewan yang bisa saya gambarkan untuk kategori
yang mendesis dan bersisik selain ular. Sedang melihat besarnya sisik-sisik
serta suaranya yang mendesis berat seperti itu, jelas hewan itu tidak bisa di
bilang kecil.
Oleh
kakak saya, lobang itu diperiksa lagi dengan menggunakan ranting. Kembali dari
dalam lobang tersebut keluar suara seperti yang saya gambarkan tadi.
Mendesis-desis serta suara tanah yang tergesek oleh badan dari hewan tersebut.
Hingga beberapa waktu kemudian, kakak saya memastikan bahwa itu bukan ular.
Lalu
hewan macam apa yang bersisik, mendesis-desis dan berada di dalam sebuah lobang
jika bukan ular?? Ternyata, itu adalah Trenggiling.
[Sekilas
tentang Trenggiling kawan:
Nama
ilmiahnya adalah Manis Javanica. Ia adalah hewan yang unik karena tidak
memiliki gigi. Trenggiling hanya mengandalkan lidahnya yang dapat memanjang
untuk menangkap para semut sebagai makanannya. Selain itu, sisik-sisik besar
seukuran koin pecahan uang seribu yang menutup hampir seluruh tubuhnya adalah
salah satu keunikan lainnya. Sisik itu, selain digunakan sebagai tameng tubuh,
juga di gunakan untuk menangkap semut dengan cara menjepitnya. Saking kuatnya
sisik Trenggiling, saya pernah melihat seorang pemburu menggunakan tombaknya
yang terbuat dari baja, bengkok saat dihantam ke tubuh Trenggiling karena
beradu dengan sisiknya. Saat ini, Trenggiling sudah amat langka. Selain karena
sifat hewan ini yang sangat pemalu, juga karena hewan ini menjadi salah satu hewan
yang paling diburu oleh manusia. Konon, dagingnya menjadi salah satu menu
favorit restoran-restoran Asia, dan sisiknya menjadi bagian dari pembuatan
sabu-sabu. Lihat gambarnya disini]
Sore
hari setelah penemuan hewan langka itu, saya tidak tahu lagi apa yang terjadi.
Yang pasti, menurut cerita kakak saya, Trenggiling itu akhirnya di tangkap oleh
salah satu pemburu di kampung saya. Katanya, hewan itu sudah seminggu ini Ia
buru, namun tidak pernah tahu di mana tempat persembunyiannya. Karena saya
sudah ikut andil menemukannya, sebagai ucapan terima kasih, pemburu itu
menitipkan ‘hadiah’ lewat kakak saya.
Senang
bukan main saya mendapatkan hadiah itu. Namun sedetik kemudian, setelah tahu
hadiah yang saya terima, senang itu berubah getar yang merontokkan air mata
saya. Membuat saya kembali langsung berlari menuju hutan kecil di belakang
rumah saya, pada sebuah pohon yang telah lapuk, saya kembali terduduk lemas.
Tidak ada kata-kata. Hanya deru nafas dan gelombang air mata yang tak henti
bergejolak. Pagi tadi. Do’a itu. Sore hari. Do’a itu telah menjadi kenyataan.
Hadiah
yang saya terima adalah: uang dua-ribu-lima-ratus. Dan saya selalu mengingatnya
sebagai sebuah KEAJAIBAN!!
Begitulah.
Akhir-akhir ini, saya tersadarkan oleh keajaiban-keajaiban yang terbentuk dari
sebuah do’a. Hal-hal baru yang saya
temukan dalam kehidupan saya kini, adalah merupakan rangkaian do’a yang pernah
saya ucapkan dulu. Hanya saja, kadang saya lupa karena jarak antara saat saya
berdo’a dan saat do’a itu di kabulkan sangatlah lama. Tapi yang terpenting dari
semuanya adalah: teruslah berdo’a secara konsisten. Baik berdo’a lewat kata-kata,
lewat perbuatan atau hanya terbersit di lembar hati yang tipis. Percayalah, Dia
itu Maha Mendengar dan juga Maha Pemurah.
Jakarta, 09062012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar