9.6.12

Yang Berserakan di Lantai Imajinasiku Akhir-Akhir Ini

Apa yang paling menarik dari hidup? Adalah dia yang dilukis di atas kanvas misteri, dengan warna yang dapat berubah kapan saja serta corak yang penuh beda, serta garis-gurat yang berulang dan kemudian bertemu dalam sebuah titik.

Do’a— adalah salah satu warnanya, sebagai sebuah garis yang sering kita ulang, gurat yang tak pernah lelah menebalkan keinginan kita dan menjelma sebuah titik keajaiban ketika garis do’a bersinggungan dengan gurat kenyataan.

Rumus remehnya menjadi seperti ini: doa + kenyataan = sebuah keajaiban!!

Pertama kali saya merasakan keajaiban itu adalah saat masih kecil, saya lupa tepatnya umur saya, tapi masih di bawah kelas 5 SD saat itu. Saya punya keinginan untuk membeli sebuah mainan yang sedang di gemari oleh banyak teman sepermainan saya. Tapi apa mau di kata, orang tua saya tidak memberi uang untuk membeli mainan itu. Sampai beberapa bulan berlanjut, bahkan hingga akhirnya mainan itu sudah tidak populer lagi, sudah tidak ada di jual di pasaran lagi, sudah tidak ada teman-teman saya yang bermain dengan mainan tersebut, saya benar-benar tidak pernah memilikinya.


Tentu saja saya bersyukur, karena akhirnya musim jenis mainan itu sudah berakhir. Tapi ibarat keluar dari musim kemarau dan masuk musim banjir, tidak ada yang enak dalam jiwa kecil saya. Karena ternyata, setelah berakhirnya musim mainan tersebut, muncul lagi jenis mainan baru. Begitulah seterusnya hal itu berlanjut. Musim mainan silih berganti. Tapi saya tetap tidak punya kesempatan untuk memilikinya.

Meski saya tahu bahwa orang tua saya tidak pernah berhasil membelikan mainan pada saya karena memang mereka tidak punya cukup uang, tetap saja jiwa kecil saya marah. Tidak terima. Berontak. Melawan. Puncaknya: saya berlari menuju hutan kecil di belakang rumah saya sambil menangis di sebuah pagi pada hari minggu. Pada hari libur sekolah tersebut lah, teman-teman saya punya begitu banyak waktu untuk memamerkan berbagai jenis mainan yang sedang berada pada puncak popularitasnya.

Saya menangis. Meratapi nasib. Dan berdo’a.

Ini adalah do’a pertama dalam hidup saya yang tercatat sebagai do’a yang ‘benar-benar do’a’. Maksud saya tidak seperti do’a mau makan yang hanya terucap dengan nyaring karena sudah tidak sabar melahap makanan yang ada, atau do’a mau tidur yang selalu lirih saya lafalkan dalam kantuk yang sudah menjadi-jadi. Ya, sebelumnya saya memang sudah mengenal banyak do’a. Sudah banyak do’a yang saya hafal. Tapi do’a dalam tangis di minggu pagi, di hutan kecil di belakang rumah saya, dalam duduk dan tersandar pada sebatang pohon yang telah lapuk, adalah do’a perdana saya yang garisnya saya tarik dari lubuk hati terdalam saya. Meski tidak ada suara yang tercipta, tapi bagi saya nyaringnya melebihi do’a mau makan saya dan kesungguhannya jauh lebih lirih dari do’a mengantuk saya—karena hati saya yang bicara.

Do’a yang saya sampaikan sangat sederhana, khas do’a anak kecil, polos, namun penuh kejujuran. Bunyinya kurang lebih seperti ini: Ya Allah, berilah saya uang dua-ribu-lima-ratus saja.

Pagi di hari minggu itu, setelah membungkus do’a dalam tangis, saya memutuskan untuk tidak bermain dengan teman-teman. Saya lebih memilih untuk ikut salah satu kakak saya pergi ke kebun karet. Sesampainya di kebun, kakak saya sibuk menyadap dan saya sibuk bermain. Permainan saya: berlari ke sana ke mari. Menganggap semua pohon-pohon karet adalah para monster. Sedang saya, adalah satu-satunya power ranger yang tersisa. Begitulah imajinasi saya saat itu.

Hingga akhirnya, tanpa sengaja saya menemukan sebuah lobang yang sangat besar dan dalam. Lobang itu ukurannya seperti sebuah galon air minum berukuran 19 liter. Kedalamannya kurang lebih 2 meter. Tapi karena berada di bawah rindang pohon-pohon karet, dasar dari lobang itu terlihat sangat gelap.

Karena penasaran, saya memeriksa lobang itu dengan cara memasukkan sebuah ranting hingga ke dasar dari lobang tersebut. Saat itulah saya terperanjat!! Dari dalam lobang itu, keluar sebuah suara yang berat dan mendesis. Sekelebat kemudian, saya melihat sebuah pergerakan hewan yang badannya cukup besar dan bersisik. Karena kaget sekaligus bercampur takut, saya langsung lari tunggang-langgang sambil berteriak-teriak memanggil kakak saya.

Saya hanya bilang pada kakak saya bahwa ada ular yang sangat besar di dalam lobang tersebut. Karena tidak ada lagi hewan yang bisa saya gambarkan untuk kategori yang mendesis dan bersisik selain ular. Sedang melihat besarnya sisik-sisik serta suaranya yang mendesis berat seperti itu, jelas hewan itu tidak bisa di bilang kecil.

Oleh kakak saya, lobang itu diperiksa lagi dengan menggunakan ranting. Kembali dari dalam lobang tersebut keluar suara seperti yang saya gambarkan tadi. Mendesis-desis serta suara tanah yang tergesek oleh badan dari hewan tersebut. Hingga beberapa waktu kemudian, kakak saya memastikan bahwa itu bukan ular.

Lalu hewan macam apa yang bersisik, mendesis-desis dan berada di dalam sebuah lobang jika bukan ular?? Ternyata, itu adalah Trenggiling.

[Sekilas tentang Trenggiling kawan:
Nama ilmiahnya adalah Manis Javanica. Ia adalah hewan yang unik karena tidak memiliki gigi. Trenggiling hanya mengandalkan lidahnya yang dapat memanjang untuk menangkap para semut sebagai makanannya. Selain itu, sisik-sisik besar seukuran koin pecahan uang seribu yang menutup hampir seluruh tubuhnya adalah salah satu keunikan lainnya. Sisik itu, selain digunakan sebagai tameng tubuh, juga di gunakan untuk menangkap semut dengan cara menjepitnya. Saking kuatnya sisik Trenggiling, saya pernah melihat seorang pemburu menggunakan tombaknya yang terbuat dari baja, bengkok saat dihantam ke tubuh Trenggiling karena beradu dengan sisiknya. Saat ini, Trenggiling sudah amat langka. Selain karena sifat hewan ini yang sangat pemalu, juga karena hewan ini menjadi salah satu hewan yang paling diburu oleh manusia. Konon, dagingnya menjadi salah satu menu favorit restoran-restoran Asia, dan sisiknya menjadi bagian dari pembuatan sabu-sabu. Lihat gambarnya disini]

Sore hari setelah penemuan hewan langka itu, saya tidak tahu lagi apa yang terjadi. Yang pasti, menurut cerita kakak saya, Trenggiling itu akhirnya di tangkap oleh salah satu pemburu di kampung saya. Katanya, hewan itu sudah seminggu ini Ia buru, namun tidak pernah tahu di mana tempat persembunyiannya. Karena saya sudah ikut andil menemukannya, sebagai ucapan terima kasih, pemburu itu menitipkan ‘hadiah’ lewat kakak saya.

Senang bukan main saya mendapatkan hadiah itu. Namun sedetik kemudian, setelah tahu hadiah yang saya terima, senang itu berubah getar yang merontokkan air mata saya. Membuat saya kembali langsung berlari menuju hutan kecil di belakang rumah saya, pada sebuah pohon yang telah lapuk, saya kembali terduduk lemas. Tidak ada kata-kata. Hanya deru nafas dan gelombang air mata yang tak henti bergejolak. Pagi tadi. Do’a itu. Sore hari. Do’a itu telah menjadi kenyataan.

Hadiah yang saya terima adalah: uang dua-ribu-lima-ratus. Dan saya selalu mengingatnya sebagai sebuah KEAJAIBAN!!

Begitulah. Akhir-akhir ini, saya tersadarkan oleh keajaiban-keajaiban yang terbentuk dari sebuah do’a.  Hal-hal baru yang saya temukan dalam kehidupan saya kini, adalah merupakan rangkaian do’a yang pernah saya ucapkan dulu. Hanya saja, kadang saya lupa karena jarak antara saat saya berdo’a dan saat do’a itu di kabulkan sangatlah lama. Tapi yang terpenting dari semuanya adalah: teruslah berdo’a secara konsisten. Baik berdo’a lewat kata-kata, lewat perbuatan atau hanya terbersit di lembar hati yang tipis. Percayalah, Dia itu Maha Mendengar dan juga Maha Pemurah.


Jakarta, 09062012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar