25.7.18

Sakuntala; Buku puisi milik 'Wiji Thukul' dalam film 'Istirahatlah Kata-kata' (baca: Gunawan Maryanto)

Sebelum saya merobek ketuban plastik yang membungkus buku puisi yang 'imut' ini, saya sekilas harus mampir ke beberapa tempat (Wikipedia dan banyak sumber lainnya di internet). Untuk mencari dan mengenal 'Sakuntala' . Sungai malini. dan burung-burung Sakunta.

Lalu, robekan itu terjadi. Daftar isi aku cari. Tapi tak juga ku temui. Halaman pertama aku baca. Benar, puisinya 'imut' seperti bukunya. Tapi cadas. Segera aku lari ke halaman kedua. Ku sadari hal lainnya, tidak ada judul dalam setiap puisi. Aku makin menggigil. Makin menikmati.

Buku ini berani. Penulisnya berani. Penerbitnya berani. Aku berani berdiri, lalu lepas topi.

Tidak semua harus di tulis panjang. Tidak semua pembaca (contohnya: aku), bisa dengan tenang membaca yang panjang-panjang.

Puisi adalah klan sastra paling bebas. Aku percaya, ia merdeka. (Boleh) tidak terikat pada apa-apa. Puisi membuat sendiri ruang interpretasinya. Bukan sebaliknya, ia yang harus di kekang oleh ruang-ruang sempit macam aturan kepenulisan: judul, titik, koma, minimal - maksimal, dan lainnya.

Itulah kenapa aku mencintai sekali mahluk bernama: puisi. Itulah kenapa buku ini benar-benar bisa di bilang sebagai 'buku puisi'. Dan orang sepertiku, yang begitu mencintai puisi, tapi di takdirkan bekerja pada bidang yang jauh dari kata puisi (saya bekerja pada sesuatu yang berbau angka dan perbankan) maka, buku ini menjadi sangat menggoda, menjadi 'gadis imut' yang bisa aku lirik kapan saja saat aku bosan dengan kekasihku saat ini: angka dan perbankan.

(pada halaman 20)
Jika kau kangen Sakuntala / Pergilah ke sungai Malini / Ia pernah mengalir / membelah permukaan yang tenang / menggaris luka yang panjang / dan tak tersembuhkan...

Selamat membaca Sakuntala. Selamat menunaikan ibadah puisi, kata Jokpin.

12.1.15

Saat Itu

Saat itu
ada waktu yang datang sambil berlari
ia tak pernah menoleh ke belakang
tidak jua ke samping
selalu ke depan
saking kencangnya waktu berlari
tak terhindar lagi
aku
ditabraknya
terjatuh
tersungkur
tersingkirkan
tergeletak di sebuah selokan
tak berdaya
mataku nanar
menatap
meratap
melihat

Saat itu
saat ingatan tentangmu jatuh berceceran dilindas waktu.

12012015

22.6.14

Aku Melepasmu

aku melepasmu.

kau terbang dengan sepasang sayap yang masih ragu. yang masih tak tahu, dahan mana yang akan kau tuju. tapi aku memilih melepasmu. berhenti menggenggammu. membuka ikatan kita. menyisakan luka dimana-mana. dan air mata menetes di pagi buta kemudian tenggelam di malam sebelum pejam.


aku melepasmu.

bersama itu, segenggam doa pun aku terbangkan ke pangkuanNya. doa; dengan namamu yang aku tulis sebagai awalan, kemudian namamu dan namamu yang memenuhinya, dan namamu pula yang menjadi akhiran.


aku melepasmu.

dengan begitu, kau akan tahu bahwa tidak ada tempat sebaik diriku. Dia akan tahu, tidak ada cinta seikhlas cintaku padamu. Dia pasti tahu, kau dan aku adalah skenario terbaik yang pernah di temukan. di pisahkan. dan di kembalikan menjadi satu.

31.10.13

Pesimisme Kota Ini

Tidak ada jalan lengang di kota ini
Semuanya bersesak-berdesak
Saling himpit-saling kait
Semua orang berebut-berjalan

Katanya,
mereka butuh jalan keluar
Padahal,
mereka hanya berputar-putar
berjejal-jejal
Di jalan yang sama

Jalan di kota ini
Tidak pernah lengang
Karena tidak pernah memiliki jalan keluar

22.10.13

Jantungmu, dan Hujan yang Gagal Aku Eja

dan aku datang
untuk pertama kalinya
mengunjungi,
Jantungmu.

Aku dengarkan setiap degup nya
Aku ikuti setiap detaknya

Kemudian,
hujan datang
kita berhimpit di antara derasnya
kita saling menatap di antara tetesnya

tapi aku tau,
aku akan kesulitan mengeja hujan itu.
karena hujan hanya menulis untukmu
dan kau membuka tubuhmu, menjadi lembar putih
menerima semua yang telah dan akan di tulis lagi oleh hujan.