Ini
hanya salah satu—dari ribuan—angin yang pernah menerpaku. Menghempaskan aku. Berusaha
menyingkirkan aku. Bahkan, seolah ingin membuangku.
Maka
tak perlu risau. Jangan galau. Aku hanya perlu sedikit meregangkan sayapku. Agar
hempasan itu, justru mampu membuatku lebih tinggi. Mendaki pelangi. Memetik mentari.
Mencipta mimpi untuk kita bagi dikemudian hari.
Bukankah
kita telah mengukir prasasti janji, bahwa tidak ada yang perlu kita takuti
dalam scene kehidupan. Selama tangan
kita masih saling menggenggam, dan senyum kita masih selalu menumbuhkan
semangat yang saling menghangatkan, maka air mata tak berarti apa-apa. Air mata
hanya selembar cerita dari sebuah buku yang tebal, baca saja, maka kita akan
segera melewatkannya.
Kau,
kemudian harus terus menguatkan peganganmu padaNya. Jangan pernah lelah menyulam
rakaat-rakaat do’a. Karena itu, satu-satunya kebenaran. Kemurnian. Satu-satunya
dari dunia yang bisa langsung sampai di tanganNya. Berharap Ia membacanya dan
mengembalikannya ke pangkuan kita sebagai segumpal bahagia.
Tetaplah
di ujung jalan itu. Karena kau adalah tujuanku. Maka kemanapun musim membawaku,
kemanapun ombak menyeretku, kepadamu, ke hatimu-lah aku kembali. Membangun rumah
dengan sebuah beranda, satu meja dan dua kursi, untuk melanjutkan ritual kita—kopi,
hujan dan senja.
Saat
ini, seterjal apapun jalan yang terbuka di hadapanku, tak ku biarkan langkahku
ragu-ragu menjejaknya. Ragu-ragu adalah masa lalu. Tak punya waktu untuk
berpacu. Ia harus kita tinggalkan dibelakang, sedang kita merdeka menuju masa
depan. Menyempurnakan kehidupan.
Karena
ini hanya salah satu—dari ribuan—angin yang pernah menerpaku. Maka aku
baik-baik saja. Menghempaskan aku. Aku tetap baik-baik saja. Berusaha menyingkirkan
aku. Sungguh aku baik-baik saja. Bahkan, seolah ingin membuangku. Demi kamu,
aku akan baik-baik saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar